Date: 07/26/2010 04:49AM
Subject: Pendidikan Kita - Oleh DR. Rhenald Kasali (*)
Lima belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah
sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.
Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya
seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna,
hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru
mulai belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu
pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan
verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya
sangat sederhana.
Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah. Rupanya
karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan
diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi
nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja
sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.
Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya
singkat. "Maaf Bapak dari mana?" "Dari Indonesia," jawab saya. Dia
pun tersenyum.
Budaya Menghukum
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup
saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan
membangun masyarakat.
"Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun
tetap simpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari
Indonesia yang anak-anaknya dididik di sini,"lanjutnya. "Di negeri
Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan
untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju.
Encouragement!" Dia pun melanjutkan argumentasinya.
"Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk
anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan
bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,"
ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.
Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat
mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.
Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang
bergelimang nilai "A", dari program master hingga doktor. Sementara
di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik
ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian
program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus
benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat.
Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan,
melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu
jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan
menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian
penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan
kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak
hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling
menolong, malah ikut "menelan" mahasiswanya yang duduk di bangku
ujian.
Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan
pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita
tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya
sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para
dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.
Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement.
Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun
kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata
belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.
Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana
guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah
anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang
hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel.
Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan
karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.
Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya.
"Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan
kita yang sudah jauh di depan," ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis
dalam bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun
rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang
mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. "Sarah
telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun
Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti." Malam itu saya
mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya.
Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi
penilaian yang tidak objektif.
Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent
(sempurna), tetapi saya mengatakan "gurunya salah". Kini saya
melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
Melahirkan Kehebatan
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan
hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi
yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan
bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh
guru, sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu
satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu
saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di
sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita
menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan
inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu
otak
ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat
mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangat
tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari
orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat
tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan,
ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah
bodoh.
Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan
ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan
menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.
(*) Ketua Program MM UI
0 comments:
Tulis komentar Anda di sini ... !